Jakarta -
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disayangkan banyak
pihak karena tidak menunjukkan ketegasan posisi Indonesia terhadap
Malaysia. Menurut Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana
pidato SBY tidak mencerminkan ketegasan, kelugasan dan kejelasan pesan.
"Pidato Presiden sungguh mengecewakan. Tidak ada ketegasan, kelugasan dan kejelasan pesan," kata Hikmahanto kepada detikcom, Rabu, (1/8/2010)
Menurut Hikmahanto, pidato tersebut jauh dari ekspektasi dan membangkitkan harga diri bangsa Indonesia yang belakangan terinjak-injak oleh otoritas dan pejabat Malaysia. Pembukaan pidato yang
berisi tentang masalah perekonomian seolah hendak menunjukkan betapa rentannya Indonesia bila hubungan kedua negara memburuk.
Selanjutnya Presiden menekan pentingnya percepatan perundingan perbatasan, padahal ini merupakan pepesan kosong. Ini mengingat percepatan terjadi apabila Malaysia menyetujuinya.
"Terkait dengan investigasi petugas KKP, Presiden sepertinya sekedar pasrah saja. Padahal banyak kasus-kasus hukum yang menyangkut warga negara Indonesia yang tidak ditindaklanjuti oleh otoritas Malaysia," tegasnya.
"Seharusnya Presiden bisa meminta agar otoritas dari Indonesia bisa terlibat dalam investigasi tanpa memiliki kewenangan. Ini sama seperti ketika Warga Negara AS yang ditembak di Papua dimana FBI menurunkan anggotanya untuk diikutsertakan," ujarnya.
Terkait dengan citra Indonesia di ASEAN yang seolah membuat Presiden tidak bisa bertindak tegas adalah suatu hal yang tidak dapat diterima. Amerika Serikat bisa menjadi penengah bagi Israel dan Palestina tetapi hal tersebut tidak berarti AS tidak bisa keras di Irak dan Afghanistan.
"Sekarang segala sesuatu bergantung pada publik Indonesia apakah bisa menerima apa yang disampaikan oleh Presiden atau tidak," tutupnya.
(asp/ape)
"Pidato Presiden sungguh mengecewakan. Tidak ada ketegasan, kelugasan dan kejelasan pesan," kata Hikmahanto kepada detikcom, Rabu, (1/8/2010)
Menurut Hikmahanto, pidato tersebut jauh dari ekspektasi dan membangkitkan harga diri bangsa Indonesia yang belakangan terinjak-injak oleh otoritas dan pejabat Malaysia. Pembukaan pidato yang
berisi tentang masalah perekonomian seolah hendak menunjukkan betapa rentannya Indonesia bila hubungan kedua negara memburuk.
Selanjutnya Presiden menekan pentingnya percepatan perundingan perbatasan, padahal ini merupakan pepesan kosong. Ini mengingat percepatan terjadi apabila Malaysia menyetujuinya.
"Terkait dengan investigasi petugas KKP, Presiden sepertinya sekedar pasrah saja. Padahal banyak kasus-kasus hukum yang menyangkut warga negara Indonesia yang tidak ditindaklanjuti oleh otoritas Malaysia," tegasnya.
"Seharusnya Presiden bisa meminta agar otoritas dari Indonesia bisa terlibat dalam investigasi tanpa memiliki kewenangan. Ini sama seperti ketika Warga Negara AS yang ditembak di Papua dimana FBI menurunkan anggotanya untuk diikutsertakan," ujarnya.
Terkait dengan citra Indonesia di ASEAN yang seolah membuat Presiden tidak bisa bertindak tegas adalah suatu hal yang tidak dapat diterima. Amerika Serikat bisa menjadi penengah bagi Israel dan Palestina tetapi hal tersebut tidak berarti AS tidak bisa keras di Irak dan Afghanistan.
"Sekarang segala sesuatu bergantung pada publik Indonesia apakah bisa menerima apa yang disampaikan oleh Presiden atau tidak," tutupnya.
(asp/ape)
WWW.DETIK.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Tanggapanmu Di Sini